Saidina Thalhah bin Ubaidillah ra
Syahid Yang Hidup
Thalhah bin Ubaidillah berpergian dengan sebuah kafilah Quraisy
berniaga ke Syam. Setibanya di Bushra, para pedagang Quraisy masuk ke
pasar yang ramai hendak berjual beli. Lain halnya dengan Thalhah yang
muda usia, pengetahuan dan pengalamannya mengenai perdagangan tidak
seperti para pedagang yang tua-tua. Tetapi pemuda itu pintar dan
cerdik, sehingga memungkinkannya untuk berlumba dengan mereka yang tua
dan berpengalaman memperoleh keuntungan dalam berdagang.
Ketika mereka sedang berada dalam pasar yang ramai dengan para
pengunjung dari segala tempat, Thalhah mengalami suatu peristiwa yang
mengubah jalan hidupnya secara menyeluruh. Marilah kita dengarkan
Thalhah mengisahkan riwayat hidupnya sendiri.
Kata Thalhah, “Ketika kami berada di pasar Bushra, tiba-tiba
seorang pendeta berseru: “Perhatian! Perhatian bagi kaum pedagang!
Adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?”
Kebetulan aku berdiri tidak jauh dari pendeta tersebut. Lalu kuhampiri dia seraya berkata, “Ya, aku penduduk Makkah!”
'Sudah munculkah di tengah-tengah kalian orang yang bernama Ahmad?” tanya pendeta kepadaku.
“Ahmad yang mana?” jawabku balik bertanya
“Ahmad Ibnu 'Abdullah bin 'Abdul Muththalib. Bulan ini dia pasti
muncul. Dia adalah Nabi penutup. Dan dia akan keluar (hijrah dan
mengungsi) dari negerimu Tanah Haram, pindah ke negeri berbatu-batu
hitam, banyak pohon kurma, negeri yang subur makmur memancarkan air dan
garam. Sebaiknya Anda segera menemuinya, hai pemuda!” kata pendeta itu
menjelaskan. Berita yang kuterima dari pendeta itu tertanam ke dalam
hatiku. Lalu kuambil unta, dan aku segera pulang kembali ke Makkah.
Kafilah aku tinggalkan di belakang, sampai di Makkah, aku bertanya
kepada keluargaku. “Adakah suatu peristiwa yang terjadi di Makkah
sepeninggalku?”
“Ada! jawab mereka. “Muhammad bin 'Abdullah mengatakan dia Nabi.
Putera Abu Quhafah (Abu Bakar Shiddiq) percaya dan mengikuti apa yang
dikatakannya.”
Kata Thalhah, “Ya, aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang
dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan
berpendirian lurus. Kami berteman baik dengan dia, dan menyukai
majlisnya karena dia ahli sejarah Quraisy dan silsilah keturunan suku
itu.” Aku pergi menemui Abu Bakar dan bertanya kepadanya, “Betulkah
berita mengenai Muhammad bin 'Abdullah, bahwa dia diangkat Nabi, dan
Anda menjadi pengikutnya?”
“Betul!” jawab Abu Bakar. Lalu diceritakannya kepadaku kisah
Muhammad menjadi Nabi dan Rasul (sejak peristiwa di gua Hira', sampai
turunnya ayat pertama). Kemudian diajaknya aku masuk agama baru itu.
Sebaliknya aku ceritakan pula kepadanya peristiwa pertemuanku dengan
pendeta Bushra, dan berita yang disampaikannya kepadaku.
Abu Bakar tercengang mendengar ceritaku. Lalu katanya, “Marilah
kita pergi menemui Muhammad. Ceritakan kepadanya peristiwa yang engkau
alami dengan pendeta Bushra itu, dan dengarlah pula apa yang dikatakan
Muhammad tentang agama yang dibawanya, supaya engkau tahu dan
memasukinya.”
“Aku pergi bersama Abu Bakar menemui Muhammad, Setelah bertemu
dengannya, dia menjelaskan tentang Islam dan membacakan beberapa ayat
Al-Quran kepadaku. Kemudian digembirakannya aku dengan kebaikan dunia
dan akhirat.“ kata Thalhah melanjutkan ceritanya.
Dadaku terasa lapang untuk menerima Islam. Aku ceritakan pula
kepadanya pertemuanku dengan pendeta di Bushra. Beliau sangat gembira
mendengar ceritaku, sehingga kegembiraan itu terpancar jelas di
wajahnya. Kemudian aku mengucapkan syahadat di hadapannya, tidak ada
Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah. Dengan
syahadatku itu, maka aku tercatat sebagai orang ke-empat yang
menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar.
Peristiwa masuknya pemuda Quraisy ini ke dalam Islam, tak ubahnya
bagaikan petir menyambar keluarganya. Mereka mengeluh, gelisah dan
berkeluh kesah. Dan yang paling sedih ialah ibu Thalhah sendiri. Ibunya
mengharapkan Thalhah menjadi pemimpin bagi kaumnya, karena si ibu telah
melihat bakat yang terkandung dalam pribadi anaknya, tinggi dan mulia.
Orang-orang sepersukuan dengan Thalhah berusaha keras
mengembalikannya ke dalam agama nenek moyang mereka, agama berhala.
tetapi mereka tidak berhasil, karena pendirian Thalhah amat kokoh dan
kuat, bagaikan gunung karang yang terhunjam dalam perut bumi, tak dapat
digoyahkan sedikit jua. Setelah mereka putus asa membujuk Thalhah
dengan cara lemah lembut, akhirnya mereka bertindak kasar dengan
menyiksa dan menyakitinya.
Mas'ud bin Kharasy bercerita, “Pada suatu hari, ketika aku sa'i
antara Shafa dan Marwa, aku melihat sekelompok orang menggiring seorang
pemuda dengan tangan terbelenggu ke kuduknya. Orang banyak itu
berlari-lari di belakang pemuda tersebut, sambil mendorongnya, memecut
dan memukuli kepalanya. Bersama orang banyak itu terdapat seorang
wanita lanjut usia, meneriaki si pemuda dengan caci makian.
Aku bertanya, “Mengapa pemuda itu?”
Jawab mereka, “Pemuda itu Thalhah bin Ubaidillah. Dia keluar dari
kepercayaan nenek moyang, lalu mengikuti Muhammad anak Bani Hasyim.”
Tanyaku, “Siapa wanita tua itu?”
Jawab mereka, “Ash Sha'bah binti Al Hadhramy, ibu kandung pemuda itu!”
Kemudian, Naufal bin Khuwalid yang dijuluki sebagai “Asadul
Quraisy” (Singa Quraisy), berdiri di hadapan Thalhah dan mengikatnya
dengan tali. Kemudian diikatnya pula Abu Bakar Shiddiq. Sesudah itu,
kedua-duanya disatukannya, lalu diserahkannya kepada para jagoan dan
tukang pukul kota Makkah, untuk disiksa sesuka hati mereka. Maka sejak
itu, Thalhah dan Abu Bakar digelari orang “Al Qarinain” (Sepasang
sahabat yang terikat).
Hari demi hari berjalan terus. Satu peristiwa dan peristiwa yang
lain sambung-menyambung. Thalhah bin Ubaidillah semakin hari semakin
dewasa. Cobaan-cobaan yang dialaminya karena mempertaruhkan agama Allah
dan Rasul-Nya tambah meningkat dan semakin besar pula. Tetapi bakti dan
perjuangan Thalhah menegakkan agama Islam dan membela kaum muslimin
semakin tumbuh dan tambah meluas. Sehingga kaum muslimin menggelarinya
“Asy Syahidul Hayy” (Syahid yang hidup), dan Rasulullah menjulukinya
dengan “Thalhah Al Khair” (Thalhah yang baik), atau “Thalhah Al Jaud”
(Thalhah yang pemurah), dan “Thalhah Al Fayyadh” (Thalhah yang
dermawan).
Setiap nama jolokan itu mempunyai latar belakang kisah
sendiri-sendiri, yang masing-masing tidak kalah penting dari yang lain.
Adapun nama jolokan “Asy Syahid Hayy” (Syahid yang hidup), diperolehnya
dalam perang Uhud. Ketika barisan kaum muslimin terpecah belah dan
kocar-kacir dari samping Rasulullah, perajurit muslim yang tinggal di
dekat beliau hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari
kaum Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke
sebuah bukit, tetapi beliau dihadang oleh ratusan kaum musyrikin yang
hendak membunuhnya.
Maka bersabda Rasulullah, “Siapa yang berani melawan mereka, maka dia menjadi temanku kelak di syurga.”
“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah.
“Tidak! Jangan engkau! Engkau harus tetap di tempatmu! Rasulullah memerintahkan.
“Saya, ya Rasulullah! kata seorang sahabat Anshar.
“Ya! Engkau!” kata Rasulullah.
Perajurit Anshar itu maju melawan perajurit musyrikin, sehingga
perajurit Anshar gugur karena membela nabinya. Rasulullah terus naik,
tetapi dihadang pula oleh tentara musyrikin. Kata Rasulullah, “Siapa
yang berani melawan mereka ini?”
“Saya, ya Rasulullah! kata Thalhah mendahului yang lain-lain.
“Tidak! Jangan engkau! Engkau tetap di tempatmu! “ kata Rasulullah memerintah.
“Saya, ya Rasulullah!” kata seorang perajurit Anshar.
“Ya! Engkau! Maju!” kata Rasulullah.
Perajurit Anshar itu maju melawan tentara musyrikin, sehingga dia
gugur pula. Demikianlah seterusnya, setiap Rasulullah meminta
pahlawannya untuk melawan tentara musyrikin, Thalhah selalu memajukan
diri, tetapi senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkannya
tetap di tempat, dan memberi peluang perajurit Anshar, sehingga sebelas
orang perajurit Anshar gugur semuanya menemui syahid. Maka tinggallah
Thalhah seorang.
Kata Rasulullah kepada Thalhah, “Sekarang engkau, hai Thalhah!”
Dalam perang itu, Rasulullah mengalami patah taring kening dan
bibirnya luka, sehingga darah mengucur di muka beliau, dan beliau
kepayahan. Karena itu Thalhah menerkam musuhnya dan menghalau mereka
sekuat tenaga, supaya mereka tidak dapat menghampiri Rasulullah.
Kemudian Thalhah kembali ke dekat Rasulullah, lalu dinaikkannya beliau
sedikit ke bukit, dan disandarkannya ke tebing. Sesudah itu kembali
menyerang musuh, sehingga dia berhasil menyingkirkan mereka dari
Rasulullah.
Kata Abu Bakar, “Saya dan Abu Ubaidillah bin Jarah ketika sedang
berada agak jauh dari Rasulullah. Setelah kami tiba untuk membantu,
beliau berkata, “Tinggalkan aku! Bantulah Thalhah, kawan kalian!” Kami
dapati Thalhah berlumuran darah, yang mengalir dari seluruh tubuhnya.
Di tubuhnya terdapat tujuh puluh sembilan luka bekas tebasan pedang,
atau tusukan lembing, dan lemparan panah. Pergelangan tangannya putus
sebelah, dan dia terbaring di tanah dalam keadaan pengsan.”
Rasulullah bersabda sesudah itu mengenai Thalhah, “Siapa yang ingin
melihat orang berjalan di muka bumi sesudah mengalami kematiannya, maka
lihatlah Thalhah bin Ubaidillah!” Bila orang membicarakan perang Uhud
di hadapan Abu Bakar Shiddiq, maka Abu Bakar berkata, “Perang hari itu
adalah peperangan Thalhah keseluruhannya.”
Begitulah kisahnya, sehingga Thalhah dijuluki “Asy Syahidul Hayy”
(Syahid yang hidup). Adapun sebabnya bergelar “Thalhah Al Khair “ atau
“Thalhah Al Jaud”, mengandung seratus satu macam kisah. Akan tetapi
kita nukilkan di sini dua diantaranya.
Thalhah adalah pedagang besar. Pada suatu sore hari dia mendapat
untung dari Hadhramaut kira-kira 700 000 dirham. Malamnya dia
ketakutan, gelisah dan risau. Maka ditanya oleh istrerinya Ummu Kaltsum
binti Abu Bakar Shiddiq, “Mengapa Anda gelisah, hai Abu Muhammad, Apa
kesalahan kami sehingga Anda gelisah?”
Jawab Thalhah, “Tidak! Engkau adalah isteri yang baik dan setia!
Tetapi ada yang terfikir olehku sejak semalam, seperti biasanya pikiran
seseorang tertuju kepada Tuhannya bila dia tidur, sedangkan harta ini
bertumpuk di rumahnya.”
Jawab isterinya, Ummu Kalthum, “Mengapa Anda begitu risau
memikirkannya. Bukankah kaum Anda banyak yang membutuhkan pertolongan
Anda. Besok pagi bagi-bagikan wang itu kepada mereka.”
Kata Thalhah, “Rahimakillah. (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepadamu!). Engkau wanita beroleh taufiq, anak orang yang selalu diberi
taufiq oleh Allah.” Pagi-pagi, dimasukkannya wang itu ke dalam
pundi-pundi besar dan kecil, lalu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin
kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Diceritakanya pula, seorang laki-laki pernah datang kepada Thalhah
bin Ubaidillah meminta bantuannya. Hati Thalhah tergugah oleh rasa
kasihan terhadap orang itu. Lalu katanya, “Aku mempunyai sebidang tanah
pemberian Uthman bin 'Affan kepadaku, seharga tiga ratus ribu. Jika
engkau suka, ambilah tanah itu, atau aku beli kepadamu tiga ratus ribu
dirham.”
Kata orang itu, “Biarlah aku terima wangnya saja.” Thalhah memberikan kepadanya wang sejumlah tiga ratus ribu.
Sewaktu terjadi Perang Jamal, Thalhah bertemu dengan Saidina Ali ra
dan Saidina Ali memperingatkan agar beliau mundur ke barisan paling
belakang. Sebuah panah mengenai betisnya, maka beliau segera
dipindahkan ke Basrah dan tidak berapa lama kemudian karena lukanya
yang cukup dalam beliau pun wafat. Thalhah wafat pada usia 60 tahun dan
dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basrah.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat radhiallahu 'anhum,
"Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang
syahid berjalan di atas bumi, maka lihatlah Thalhah.
Hal itu juga dikatakan Allah SWT dalam firmanNya: "Di antara
orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan
di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun
tidak merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23)
No comments:
Post a Comment